Warung Pempek C'Ida

Warung Pempek C'Ida
Pemilik (Cek Ida) kadang terjun langsung melayani karena ramainya pembeli

Jumat, 04 Januari 2013

Sejarah palembang

Sejarah singkat Palembang
(diambil dari berbagai sumber)

Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Batenburg pada tanggal 20 November 1920 ditepi Sungai Tatang, anak Sungai Musi yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sebelah barat daya kota Palembang), bahwa pada tanggal 5 Ashada tahun 605 Syake atau tanggal 17 Juni 683 Masehi Dahpuntahyang mendirikan Wanua Sriwijaya (Wanua:Negri). Dari Wanua inilah Sriwijaya mulai menampakkan diri dan akhirnya mencapai kejayaannya dan mengalami masa keemasan dari Abad VII sampai dengan Abad XII. Kekuasaannya bukan hanya meliputi  kawasan Asia tenggara, tapi juga sampai ke Taiwan,Australia, dan Madagaskar. Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan tulisan dari berbagai ilmuan, akhirnya diyakini bahwa Wanua Sriwijaya yang dimaksud adalah Kota Palembang.
Nama Palembang berasal dari bahasa masyarakat setempat, yaitu kata pa dan limbang. Pa berarti tempat dan limbang yang berarti melimbang atau mengayak untuk memisahkan sesuatu (memisahkan emas dari air dan tanah).  Menurut cerita rakyat, salah satu sumber mata pencaharian penduduk Palembang pada saat itu adalah mendulang emas di Sungai Tatang. Pada tahun 1225 Masehi muncul nama Palembang di dalam tulisan seorang pengarang berkebangsaan cina, Chau Ji Kau,dalam bukunya Cu Fan Chi. Beliau mengeja nama Palembang dengan Pa-lin Fong. Begitu pula di dalam bukuWang Ta-Yuan  yang berjudul Toa-i Chi Lio, yang terbit pada tahun 1349. Ia menyebutkan nama Palembang dengan Po-lin Fong.
Setelah kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad XVI, datanglah utusan dari Majapahityang bernama Ario Damaruntuk melanjutkan kekuasaan dan pemerintahan di Kadipaten Palembang. Pemerintahan ini secara administratif sepenuhnya tunduk kepada kerajaan Majapahit.Beberapa tahun setelah Ario Damar meninggal, kepemimpinan dan kekuasaan di Kadipaten Palembang menjadi tidak menentu.
Pada saat yang hampir bersamaan, tepatnya pada tahun 1549 M, terjadi pula perebutan kekuasaan di kerajaan Demak antara Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Adiwijaya dari Pajang. Perebutan kekuasaan itu menyebabkan Aria Penangsang meninggal. Sebagian pengikut Aria Penangsang yang tidak mau tunduk kepada pangeran Adiwijaya melarikan diri ke berbagai daerah. Di antara mareka adalah seorang perwira yang bernama Sido Ing Lautan. Ia bersama anaknya, Ki Gede Ing Suro, melarikan diri ke Palembang dan mendirikan pusat kekuasaan dan perniagaan, yang selanjutnya menjadi Keraton Kuto Gawang, yang terlatak di kawasan PT. Pupuk Sriwijaya sekarang.
Setelah Palembang diserbu oleh belanda pada tahun 1659, Keraton Kuto Gawang dibakar habis. Pada tahun 1675keraton ini dipindahkan ke daerah Beringin Janggut, dipinggir sungai Tengkuruk. Oleh Sultan Jamaluddin yang dikenal dengan sebutan Sultan Ratu. Abdulrakhman Kholifatul Mukminin Sayidul Imam. Beliaulah yang pertama bergelar Sultan, yang dinobatkan dengan sebutan Sultan Cinde Walang.
Selanjutnya, masyarakat Palembang meyakini bahwa kesultanan Palembang berhasil memisahkan diri dari pengaruh kekuasaan kerajaan lain sejak masa Sultan Cinde walang. Oleh karena itu, Sultan Cinde Walang dianggap sebagai Bapak pendiri Kesultanan Palembang.
Sejak tahun1906 kota Palembang ditetapkan sebagai kota otonom. Melalui Undang-undang Nomor 28 tahun 1959, kota Palembang ditetapkan sebagai galah satu kotapraja di Sumatra Selatan. Sekarang kota Palembang, selain berkedudukan sebagai daerah otonomtingka II dari sepuluh daerah otonom tingkat II yang ada di Sumatera Selatan, juga merupakan ibukota propinsi Sumatra Selatan. 

 Sejarah  Palembang  sebagai tambahan
 Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.   
Kota Palembang adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya) sekaligus merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatra Selatan. Palembang adalah kota terbesar kedua di Sumatra setelah Medan. Kota ini dahulu pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum kemudian berpindah ke Jambi. Bukit Siguntang, di Palembang Barat, hingga sekarang masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat kesucian di masa lalu.
Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, lalu Islam dr tanah Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa.
Kota ini memiliki komunitas Tionghoa yang besar. Makanan khas daerah ini adalah pempek Palembang, tekwan, model, celimpungan, kue maksuba, kue 8 jam, kue engkak, laksan, burgo, dll. Makanan seperti pempek atau tekwan mengesankan "Chinese" taste masyarakat Palembang.
Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi. Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.
Kota Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya. Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberinyalah nama Singapura kepada Tumasik. Sewaktu pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Shah.
Secara teratur, sebelum masa NKRI pertumbuhan Kota Palembang dapat dibagi menjadi beberapa fase utama:

1. Fase Sebelum Kerajaan Sriwijaya

Merupakan zaman kegelapan, karena mengingat Palembang telah ada jauh sebelum bala tentara Sriwijaya membangun sebuah kota dan penduduk asli daerah ini seperti yang tertulis pada manuskrip lama di hulu Sungai Musi merupakan penduduk dari daerah hulu Sungai Komering.
2. Fase Sriwijaya Raya,
Palembang menjadi pusat dari kerajaan yang membentang mulai dari barat pulau jawa, sepanjang pulau sumatera, semenanjung malaka, bagian barat kalimantan sampai ke indochina. Runtuhnya Sriwijaya sendiri utamanya karena penyerbuan bangsa-bangsa pelaut ‘yang tidak terdefinisikan’, sebagian sejarahwan mengatakan bahwa mereka adalah pasukan barbar laut dari Srilanka (Ceylon). Akibat hancurnya kekuatan maritim mereka, Sriwijaya menjadi lemah dan persekutuan daerah-daerah kekuasaanya terlepas dan ketika datangnya Ekspedisi Pamalayu dari Jawa (majapahit) ke jambi dalam melakukan isolasi kepada Palembang, untuk mencegah Sriwijaya bangkit kembali.

3. Fase Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Di sekitar Palembang dan sekitarnya kemudian bermunculan kekuatan-kekuatan lokal seperti Panglima Bagus Kuning di hilir Sungai Musi, Si Gentar Alam di daerah Perbukitan, Tuan Bosai dan Junjungan Kuat di daerah hulu Sungai Komering, Panglima Gumay di sepanjang Bukit Barisan dan sebagainya. Pada fase inilah Parameswara yang mendirikan Tumasik (Singapura) dan Kerajaan Malaka hidup, dan pada fase inilah juga terjadi kontak fisik secara langsung dengan para pengembara dari Arab dan Gujarat.

4. Fase Kesultanan Palembang Darussalam

Hancurnya Majapahit di Jawa secara tidak langsung memberikan andil pada kekuatan lama hasil dari Ekspedisi Pamalayu di Sumatera. Beberapa tokoh penting di balik hancurnya Majapahit seperti Raden Patah, Ario Dillah (Ario Damar) dan Pati Unus merupakan tokoh-tokoh yang erat kaitanya dengan Palembang. Setelah Kesultanan Demak yang merupakan 'pengganti' dari Majapahit di Jawa berdiri, di Palembang tak lama kemudian berdiri pula 'Kesultanan Palembang Darussalam' dengan 'Susuhunan Abddurrahaman Khalifatul Mukmiminin Sayyidul Iman' sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini mengawinkan dua kebudayaan, maritim peninggalan dari Sriwijaya dan agraris dari Majapahit dan menjadi pusat perdagangan yang paling besar di Semenanjung Malaka pada masanya. Salah satu raja yang paling terkenal pada masa ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin II yang sempat menang tiga kali pada pertempuran melawan Eropa (Belanda dan Inggris).

5. Fase Kolonialisme

Setelah jatuhnya Kesultanan Palembang Darussalam pasca kalahnya Sultan Mahmud Badaruddin II pada pertempuran yang keempat melawan Belanda yang pada saat ini turun dengan kekuatan besar pimpinan Jendral de Kock, maka Palembang nyaris menjadi kerajaan bawahan. Beberapa Sultan setelah Sultan Mahmud Badaruddin II yang menyatakan menyerah kepada Belanda berusaha untuk memberontak tetapi kesemuanya gagal dan berakhir dengan pembumihangusan bangunan kesultanan untuk menghilangkan simbol-simbol kesultanan. Setelah itu Palembang dibagi menjadi dua keresidenan besar, dan pemukiman di Palembang dibagi menjadi daerah Ilir dan Ulu
Penduduk Palembang merupakan cabang dari masyarakat melayu, dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa sehari-hari, namun para pendatang daerah seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa komering, rawas, lahat, dsb. Pendatang dari luar Sumatera Selatan terkadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan, seperti pendatang dari Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di Indonesia. Namun untuk berkomunikasi dengan warga Palembang lain, penduduk umumnya menggunakan Bahasa Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk Palembang asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga keturunan, warga pendatang seperti dari Pulau Jawa, Madura, Sulawesi (Makassar dan Manado), Papua, Wilayah Sumatera Lainnya. Warga Keturunan terutama Tionghoa, Arab dan India.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar