Warung Pempek C'Ida

Warung Pempek C'Ida
Pemilik (Cek Ida) kadang terjun langsung melayani karena ramainya pembeli

Rabu, 02 Januari 2013

Tempat Wisata

Tempat Tempat Wisata di Kota Palembang

Pemandangan dari atas salah satu tower Jembatan

 

Jembatan Ampera

Siapa  yang  tak  kenal Jembatan  Ampera, maka dia harus  datang  ke Palembang Kota, yang merupakan jembatan  yang membelah  kota  Palembang  jadi dua Seberang  Ulu  dan Seberang  Ilir. Dan  merupakan  Ikon  Kota Palembang,      Setiap Orang dari  luar kota Palembang, biasanya menyempatkan diri  untuk  berfoto diatas jembatan  Ampera.Dan tidak lengkap  jika mereka  belum berfoto diatas jembatan ini. Dan akan lebih indah  bila  dilihat  pada malam  hari tentunya.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Jembatan Ampera

Nama resmi Jembatan Ampera
Mengangkut 4 lajur
Melintasi Sungai Musi
Daerah Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan
Panjang total 1.117 m (3,665 kaki)
Lebar 22 m (72 kaki)
Tinggi 63 m (207 kaki)
Rentang terpanjang 75 m (246 kaki)
Jumlah rentangan 1 (jembatan utama)
1 (keseluruhan)
Ruang vertikal 115 m (377 kaki)
Koordinat 7°11′3″S 112°46′48″EKoordinat: 7°11′3″S 112°46′48″E
Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.


Struktur

Panjang : 1.117 m[rujukan?] (bagian tengah 71,90 m)
Lebar : 22 m
Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
Jarak antara menara : 75 m
Berat : 944 ton



Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.[1]
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.[2]
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.[3] Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).[4]
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.[1]

Keistimewaan

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.[4]
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.
Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.[1]

Referensi

  1. ^ a b c "Dibiayai Jepang, Jembatan Ampera Dulu Bernama Bung Karno ", (Detik.com), 6 Agustus 2007. Diakses pada 15 September 2007.
  2. ^ "33 Tahun Sudah Jembatan Ampera Tak Bisa Naik Turun Lagi ", (Kompas), 19 April 2003. Diakses pada 15 September 2007.
  3. ^ "Pariwisata Palembang ", (bumisriwijaya.com). Diakses pada 15 September 2007.
  4. ^ a b "Menunggu Wajah Baru Jembatan Ampera ", (Tempo), 31 Maret 2005. Diakses pada 15 September 2007.


BENTENG KUTO BESAK
Bangunan ini dibangun selama 17 tahun simulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada hari senin tanggal 21 Februari 1797. Pemrakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Bandaruddin I (1724-1758) dan pembangunan dilakukan oleh Sultan Mahmud Bahaudin, sebagai pengawas pembangunan dipercayakan kepada orang cina.
Benteng Kuto Besak mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter dan tinggi 9,99 meter (30 khaki) serta tebal 1,99 meter (60 khaki). Di setiap sudutnya terdapat bastion yang terletak di sudut Barat Laut bentuknya berbeda dengan 3 bastion lainnya.
3 bastion yang sama tersebut merupakan ciri khas  bastion Benteng Kuto Besak, di sisi Timur, Selatan, dan Barat terdapat pintu masuk benteng, pintu masuk gerbang utama yang menghadap sungai Musi disebut Lawang Kuto dan pintu masuk lainnya disebut Lawang Buritan.


Kuto Besak adalah bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat Kesultanan Palembang. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah pada tahun 1776-1803. Sultan Mahmud Bahauddin ini adalah seorang tokoh kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan internasional, serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Menandai perannya sebagai sultan, ia pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai nieuwe keraton alias keraton baru.
Benteng ini mulai dibangun pada tahun 1780 dengan arsitek yang tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan pada seorang Tionghoa. Semen perekat bata menggunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur. Waktu yang dipergunakan untuk membangun Kuto Besak ini kurang lebih 17 tahun. Keraton ini ditempati secara resmi pada hari Senin pada tanggal 21 Februari 1797.
Berbeda dengan letak keraton lama yang berlokasi di daerah pedalaman, keraton baru berdiri di posisi yang sangat terbuka, strategis, dan sekaligus sangat indah. Posisinya menghadap ke Sungai Musi.
Pada masa itu, Kota Palembang masih dikelilingi oleh anak-anak sungai yang membelah wilayah kota menjadi pulau-pulau. Kuto Besak pun seolah berdiri di atas pulau karena dibatasi oleh Sungai Sekanak di bagian barat, Sungai Tengkuruk di bagian timur, dan Sungai Kapuran di bagian utara.
Benteng Kuto Besak saat ini ditempati oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya.
Pembangunan dan penataan kawasan di sekitar Plaza Benteng Kuto Besak diproyeksikan akan menjadi tempat hiburan terbuka yang menjual pesona Musi dan bangunan-bangunan bersejarah. Jika dilihat dari daerah Seberang Ulu atau Jembatan Ampera, pemandangan yang tampak adalah pelataran luas dengan latar belakang deretan pohon palem di halaman Benteng Kuto Besak, dan menara air di Kantor Wali Kota Palembang.
Di kala malam hari, suasana akan terasa lebih dramatis. Cahaya dari deretan lampu-lampu taman menciptakan refleksi warna kuning pada permukaan sungai.
Pemkot Palembang memiliki sejumlah rencana pengembangan untuk mendukung Plaza Benteng Kuto Besak sebagai obyek wisata.Biasanya tempat ini ramai dikunjungi pada sore dan malam hari.

sumber : wikipedia



KANTOR LEDENG
Bangunan ini berdiri tahun 1928 yang dulunya dukenal Water Tower (menara air) atau disebut masyarakat Palembang sebagai kantor ledeng. Pada zaman Jepang (1942-1945) Balai kota (Kantor Menara Air) dijadikan kantor Syuco-kan (kantor Residen) dan terus dimanfaatkan sebagai balai kota sampai tahun 1956.
Tanggal 21 Agustus 1963, perusahaan Water Ledeng dipindahkan menjadi salah satu tekhnik air bersih di Dinas Pekerjaan Umum Kota Praja Palembang. Sejak saat itu (1963) Kantor Menara Air berubah menjadi kantor Pusat Pemerintahan Kota Praja Palembang yang sekarang disebut kantor Walikota.



PULAU KEMARO
Di tengah-tengah sungai Musi terdapat sebuah pulau yang bernama pulau Kemaro. Pulau Kemaro yang memiliki arti sebuah pulau yang tidak pernah tergenang air. Walaupun air pasang besar, pulau Kemaro tidak akan kebanjiran dan akan terlihat dari kejauhan terapung-apung di atas perairan sungai Musi.
Di pulau ini terdapat sebuah Kelenteng Budha yang selalu dikunjungi penganutnya terutama pada perayaan Cap Go Meh yang tidak hanya keturunan Tiong Hoa yang ada di Palembangtetapi dari berbagai daerah di Indonesia bahkan di mancanegara seperti Singapura, Hongkong, RRC, dan lain-lain. Kita dapat ke pulau ini dengan menggunakan transportasi air seperti Ketek, Speet Boat, Kapal Putri Kembang Dadar, Sigentar Alam, dan Perahu Naga dari dermaga wisata Benteng Kuto Besak (BKB) atau dari pabrik Intirub.







BAGUS KUNING
Daerah Ini terletak di Kecamatan Sebrang Ulu II tepatnya di Komplek Bagus Kuning Plaju yang merupakan Makam Ratu Bagus Kuning  dan sampai saat ini masih dikeramatkan karena menurut legenda, Ratu Bagus Kuning orang yang sakti dan sebagai penyambung Risalah Rasullulah melalui para Wali untuk menyebarkan agama Islam di daerah yang dikuasainya yaitu Kawasan Batanghari Sembilan pada abad ke XVI.
Beliau mempunyai pengikut atau penghulu sebanyak 11 orang, yaitu:
1.      Penghulu Gede
2.      Datuk Buyung
3.      Kuncung Emas
4.      Panglima Bisu
5.      Panglima Api
6.      Syekh Ali Akbar
7.      Syekh Maulana Malik Ibrahim
8.      Syekh Idrus
9.      Putri Kembang Dadar
10. Putri Rambut Selako
11. Bujang Juaro
Ratu Bagus Kuning hingga Akhir Hayatnya tidak pernah menikah dan tetap Suci, selain itu kita dapat melihat monyet/kera jinak yang menurut cerita cerita, adalah keturunan siluman kera yang pada waktu bertanding dengan Ratu Bagus Kuning mengalami kekalahan sehingga siluman kera bersumpah keturunannya akan menjadi pengikut setia Ratu Bagus Kuning. Hingga saat ini, kera-kera tersebut ada dan jumlahnya tetap tidak bertambah.


TAMAN HUTAN WISATA PUNTI KAYU
Hutan Wisata Punti Kayu ini dapat dijangkau dengan kendaraan umum trayek km 12 yang letaknya sekitar 7 km dari pusat kota dengan luas sekitar 50 Ha. Sejak tahun 1938 telah ditetapkan sebagai hutan lindung.
Sejak tahun 1986 hasil kesepakatan antara propinsi Sumatra Selatan dan Departemen Kehutanan, Hutan Wisata Punti Kayu menjadi Hutan Wisata dengan beberapa sarana Wisata. Taman Wisata Punti Kayu dibagi atas 4 wilayah.


BUKIT SIGUNTANG
Daerah ini terletak di atas ketinggian 27 meter dari permukaan laut, tepatnya di Kelurahan Bukit Lama. Tempat ini sampai sekarang masih dikeramatkan karena di sini terdapat beberapa makam, yaitu makam:
1.      Raja si Gentar Alam
2.      Putri Kembang Dadar
3.      Putri Rambut Selako
4.      Panglima Bagus Kuning
5.      Panglia Bagus Karang
6.      Panglima Tuan Junjungan
7.      Panglima Raja Batu Api
8.      Panglima Jago Lawang
Berdasarkan hasil penemuan pada tahun 1920 di sekitar Bukit ini, telah ditemukan sebuah patung (arca) Budha bergaya seni Amarawati yang raut wajah Srilangka berasal dari abad XI masehi yang sekarang diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Bandaruddin II.

TAMAN PURBAKALA KERAJAAN SRIWIJAYA
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya berlokasi di Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Ilir Barat II. Setelah melalui proses yang panjang melalui penelitian ilmiah, seminar, serta diskusi oleh para pakar dan instansi yang berwewenang pada tanggal 22 Desember 1994 Presiden Soeharto meresmikan taman ini dengan peletakan kembali replika Prasasti Kedukan Bukit. Prasati itu merupakan tenggak sejarah kerajaan Sriwijaya.

MUSEUM SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang berada di seberang Sungai Musi ini memiliki bentuk asli bangunan tidak berubah dari masa awal pendiriannya. Lokasinya di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No. 2, Palembang.
Di museum ini Anda dapat menikmati sekitar 556 koleksi benda bersejarah, mulai dari bekas peninggalan kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang. Nama Sultan Mahmud Badaruddin II dijadikan nama museum ini untuk menghormati jasanya bagi kota Palembang.



Museum ini berdiri di atas bangunan Benteng Koto Lama (Kuto Tengkurokato Kuto Batu) dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) memerintah. Berdasarkan penyelidikan oleh tim arkeologis tahun 1988, diketahui bahwa pondasi Kuto Lama ditemukan di bawah balok kayu.
Benteng ini pernah habis dibakar oleh Belanda pada 17 Oktober 1823 atas perintah I.L. Van Seven House sebagai balas dendam kepada Sultan yang telah membakar Loji Aur Rive. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda. Pada masa Pendudukan Jepang, gedung ini dipakai sebagai markas Jepang dan dikembalikan ke penduduk Palembang ketika proklamasi tahun 1945.  Museum ini direnovasi dan difungsikan sebagai markas Kodam II/Sriwijaya hingga akhirnya menjadi museum dan
Jam berkunjung museum ini adalah Senin hingga Kamis: 08.00 – 16.00 WIB, Jumat: 08.00 – 11.30; serta  Sabtu dan Minggu: 09.00 – 16.00. Untuk hari libur nasional akan tutup.

MUSEUM  MONUMEN  AMPERA (MONPERA)


Monpera

Bangunan ini terletak di pusat kota tepatnya di depan Masjid Agung. Lokasi tersebut dulunya basis pertempuran Lima Hari Lima Malam. Peletakan Batu Pertamanya dan pemancangan tiang bangunan pada tanggal 17 Agustus 1975 dan diresmikan pada tanggal 23 Februari 1988 oleh Menko Kesra Alamsyah Ratu Perwira Negara.
Monumen ini dibangun unntuk mengenang perjuangan rakyat Sumatera Selatan ketika melawan kaum penjajah pada masa revolusi fisik yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang yang pecah pada tanggal 1 Januari 1947 yang melibatkan seluruh rakyat Palembang melawan Belanda.
Didalam Museum ini kita dapat melihat berbagai jenis senjata yang dipergunakan dalam pertempuran tersebut termasuk berbagai dokumen perang dan benda-benda bersejarah lainnya.
 
 
WISATA  ROHANI  
MESJID  AGUNG  PALEMBANG





Masjid Agung Palembang merupakan salah satu warisan Kesultanan Palembang. Masjid ini dikenal sebagai pusat kota Palembang. Dibangun 1738-1748 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang juga dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo. Menutur beberapa orang masjid ini merupakan masjid terbesar di Indonesia pada zamannya.
Ketika pertama kali dibangun, istana ini meliputi lahan seluas 1.080 meter persegi (sekitar 0,26 hektar) dengan kapasitas 1.200 orang. lahan kemudian diperluas oleh Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta Mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Dari 1819-1821, renovasi dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah itu, ekspansi lebih lanjut dilakukan pada tahun 1893, 1916, 1950, 1970, dan terakhir di tahun 1990-an. Selama ekspansi pada 1966-1969 oleh Yayasan Masjid Agung, lantai kedua dibangun dengan luas tanah 5.520 meter persegi dengan kapasitas 7.750 orang. Selama renovasi dan pembangunan di tahun 1970-an oleh Pertamina, menara masjid pun dibangun. Menara dengan gaya asli Cina tersebut masih dipertahankan sampai sekarang. Masjid ini sangat khas dengan tradisi Palembangnya. Sebagian besar kayu yang terdapat di arsitektur masjid memiliki ukiran khas Palembang yang disebut Lekeur.
Saat ini, bangunan asli masjid ini terletak di tengah bangunan baru, diresmikan oleh Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Masjid ini dikelilingi oleh Sungai Musi, sehingga menarik untuk dikunjungi.



Dan masih banyak lagi tempat-tempat yang menarik di palembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar